T: Tentunya tiada tuhan selain Allah.
J: Pasti.
T: Apa maksud dari Tiada tuhan selain Allah (La ilaha illallah)?
J: Maksudnya: Tiada satupun yang memiliki kriteria tuhan (sebagian maupun seluruhnya) melainkan Allah.
T: Kriteria tuhan?
J:
Iya. Karena hanya Allah saja yang memenuhi kriteria itu maka dari itu
tiada tuhan selain-Nya, dan tiada patut disembah melainkan Dia saja.
Saya mengucapkan kalimat La ilaha illallah (Tiada tuhan selain Allah) sebab saya yakin hanya Dialah satu-satunya yang mempunyai kriteria tuhan.
T: Kalau ternyata saya juga memiliki kriteria itu bagaimana?
J: Siap saya sembah juga..!!
T: Loh...!!!!!!!!!
J: Iya. Seandainya ada 1000 orang memiliki kriteria itu maka saya siap menyembah 1000 orang itu semuanya tanpa kecuali.
T: Apa saja kriteria tuhan itu?
J: Ada empat kriteria, yang disebut dengan Muqtadlayat Uluhiyyah; Sabq, Ithlaq, Sarmadiyyah dan Dzatiyyah.
T: …………….. !?!?!?!?!?!?!?!
J: Iya cuma empat saja. Sabq artinya: tidak ada yang mendahlui-Nya. Tidak ada satupun mendahului keberadaan-Nya. Yang awal tanpa permulaan.
T: Apa itu Ithlaq?
J: Ithlaq artinya: mutlak dan tak terbatas, bebas dari ruang dan waktu.
T: Apa itu Sarmadiyyah?
J: Sarmadiyyah artinya: kekal dan abadi, tidak ada akhirnya.
T: Apa itu Dzatiyyah?
J: Dzatiyyah
artinya: tidak ada yang mengajar-Nya, tidak ada yang menciptakan atau
memberikan-Nya. Zat-Nya, semua yang ada pada-Nya, semua nama dan
sifat-Nya, semua yang dimiliki oleh-Nya adalah 100% murni dari-Nya,
bukan dari selain-Nya.
T: ……………..
J: Siapapun yang zatnya maupun sifatnya memiliki keempat kriteria tadi maka dia adalah tuhan yang patut disembah.
T: Fir’aun misalnya?
J:
Fir’aun… coba kita seleksi bersama apakah dia tuhan yang patut disembah
atau tidak? Kita mulai dari zatnya, dan kita seleksi melalui empat
kriteria tuhan satu-persatu. Apakah Fir’aun orang yang pertama kali ada?
bukankah banyak yang mendahuluinya? bukankah ia diciptakan dan
dilahirirkan?
T: Banyak yang mendahuluinya. Ia diciptakan dan dilahirkan. Ia bukan yang awal.
J: Berarti dia sudah tidak lulus seleksi sejak kriteria pertama (Sabq).
T: Ooo…
J: Apakah ruang dan waktu telah membatasinya?
T: Iya… Berarti zatnya juga tidak memiliki kriteria kedua (Ithlaq).
J: Apakah Fir’aun masih hidup sampai sekarang?
T: Tidak. Ia sudah berakhir dan mati… Berarti zatnya tidak punya kriteria ketiga juga (Sarmadiyyah).
J: Apakah zatnya berasal dari dirinya pula? atau ada sumber dan asal usulnya?
T:
Tentu ada, sebab ia diciptakan Allah dan dilahirkan kedua orang tuanya…
Berarti kriteria keempat (terakhir) pun tidak dimilikinya.
J: Maka Fir’aun tidak pantas jadi tuhan.
T: Tapi Fir’aun punya sifat kuat, berilmu, berkuasa dan lain sebagainya.
J:
Kita sudah menyeleksi zatnya. Sekarang mari kita seleksi
sifat-sifatnya. Kekuatan, penglihatan, pendengaran, kekuasaan,
ketinggian, kejayaan dan kekayaan yang dimiliki oleh Fir’aun, apakah ia
yang pertama kali memilikinya?
T: Tidak…
J: Semua sifat-sifat dan kekayaan maupun otoritas yang dimiliki Fir’aun apakah bersifat mutlak?
T: Sudah pasti terbatas.
J: Apakah sifat-sifatnya itu tetap melekat padanya untuk selama-lamanya?
T: Sejak mati maka semua sifatnya lepas darinya.
J: Apakah semua sifatnya berasal dari dirinya tanpa ada yang memberikan atau mengajarnya?
T: Sudah pasti ada sumbernya.
J: Simpulkan..!!
T: Karena zat, nama dan sifat Fir’aun tidak memenuhi empat kriteria tuhan maka Fir’aun bukanlah tuhan yang patut disembah.
J: Ada pertanyaan lain?
T: Masya’allah.
J: Terima kasih kita ucapkan untuk Maulana Syekh Mukhtar Ra. (Syekh Thariqah Dusuqiyah Muhammadiyah). Saya sebutkan kembali: Muqtadlayat Uluhiyyah (kriteria tuhan) ada empat; Sabq, Ithlaq, Sarmadiyyah dan Dzatiyyah. Jika kita fahami dengan baik dan tepat maka jernihlah pikiran kita dalam membedakan antara Tuhan dan makhluk-Nya.
T: Bagaimana dengan sifat-sifat 20 yang wajib, ja’iz maupun mustahil bagi Allah? yang digagas oleh Imam Abul-Hasan al-Asy’ari?
J:
Benar. Namun, terlalu panjang lebar, butuh segudang rincian, mengundang
banyak pertanyaan dan perdebatan, kurang simpel, agak rumit dicerna,
lumayan jauh dari kesederhanaan, cukup klasik dan tidak kontemporer,
sangat memerlukan ringkasan yang lebih komprehensif dan mudah dicerna
maupun difahami oleh semua orang serta lebih mampu mengkokohkan
ketauhidan dan keimanan setiap muslim. Ada yang menyingkatnya menjadi 13
sifat saja, ada yang malah mengingkari dan merubahnya secara total, ada
pula yang menerimanya seutuhnya namun tak mampu mengembangkan jangkauan
kepercayaannya melalui teori teologi seperti itu.
T: Lalu apa saja sifat-sifat Allah menurut Thariqah Dusuqiyah Muhammadiyah ?
J:
Sebelumnya, saya ingin mengemukakan bahwasanya Ahlussunnah wal-Jama’ah
(oleh para ulama’) bukan hanya Asy’ariah wa Maturidiah saja, namun
konsep ASWAJA meliputi 3 golongan / kelompok: Asy’ariah wa Mturidiah,
Ahli hadits (ahli dalil sam’i), dan ketiga: para Mujaddid setiap zaman.
Syekh Al-Qari’ menyatakan bahwasanya kaum sufi juga merupakan bagian
dari ASWAJA, bahkan kaum sufi-lah sebaik-baik dan sekuat-kuat golongan
walau mereka memiliki aqidah yang independen, berbeda dengan yang lain
dalam metode dan beberapa furu’ dan fushulnya. Disamping kriteria tuhan
yang Allah miliki, Ia juga memiliki sifat-sifat tertentu, yaitu (menurut
Maulana Syekh Mukhtar Ra.) ada tujuh sifat; Alim (berilmu), Qadir (berkuasa), Murid (berkehendak), Hay (hidup), Sami’ (mendengar), Bashir (melihat), dan Mutakallim (berbicara / berfirman).
T: Manusia juga bisa memiliki ketujuh sifat itu..!!
J: Namun terlepas dari keempat kriteria tuhan.
T: Iya, benar..!
J: Sifat-sifat dan nama-nama Allah boleh saja dinisbatkan kepada selain Allah namun yang pasti terlepas dari Muqtadlayat Uluhiyyah yang mana itu telah menafikan ketuhanannya. Contohnya Nabi Isa as. adalah khaliq (pencipta) “Anni akhluqu lakum minaththini kahai’atiththayr” namun ke-khaliq-an beliau terlepas dari Muqtadlayat Uluhiyyah maka ia bukan tuhan walaupun mampu menciptakan, sebab ia menciptakan burung melalui izin Allah maka tidak dzatiy namun muktasab, dan tidak muthlaq melainkan muqayyad. Begitu juga nama Rahim, Karim, Kabir, Aziz, dll. jika dilekatkan pada selain Allah maka boleh saja tanpa dicampur dengan Muqtadlayat Uluhiyyah. Sebab bagaimanapun, tetap tidak akan Sabiq (masbuq), tidak Muthlaq (muqayyad), tidak Sarmadiy (yantahi / lahu nihayah), dan tidak Dzatiy (muktasab). Contohnya banyak dalam Qur’an: “Rasulin karim”, “Dzibhin Azim”, “Syaikhun kabir”, “Rasulun min anfusikum azizun”, dll. Kecuali nama Allah dan nama Arrahman, tidak boleh dinisbatkan kepada selain Allah, sebab sifat Uluhiyyah dan Rahmaniyyah tidak dimiliki oleh siapapun melainkan Allah Swt. saja.
T: Ooo…
J: Terkadang juga kita tidak menyadari bahwa nama ‘Allah’ bukanlah nama zat-Nya, melainkan ia adalah nama sifat ketuhanan-Nya, sebagaimana Rahim adalah nama sifat kasih sayang-Nya dan Karim sebagai nama sifat kemuliaan-Nya.
T: Lalu apa nama zat-Nya?
J:
Karena zat-Nya adalah gaib mutlak maka nama zat-Nya pun gaib, tidak
diketahui oleh siapapun melainkan orang-orang yang dikehendaki-Nya saja,
nama zat-Nya itulah yang disebut dengan Ism A’zam yang kadang juga berubah setiap zaman dan berbeda-beda di setiap imam.
T: Ooo… Jadi Ism A’zam itu adalah nama yang mengisyratkan zat-Nya?
J:
Iya. Berdo’a dengannya, pasti terkabul.. karena Ism A’zam itu merupakan
kunci ghaib dan berubah-rubah setiap zaman pada imammnya sebab kunci
ghaib tidak satu, tapi banyak sebagaimana firman Allah: “Wa’indahu mafatihul-ghaib” bukan: Wa’indahu miftahul-ghaib !! Ada pertanyaan lain?
T: Kapan seseorang itu dikatakan kafir?
J: Bila ia menisbatkan kepada Allah hal-hal yang Ia maha suci darinya.
T: Apa saja hal-hal itu?
J: Allah Swt. maha suci dari 10 perkara; Kam (kuwalitas), Kaif (kuantitas), Ain (tempat), Nid (pembanding), Dlidl (lawan), Syabih (keserupaan / kemiripan), Matsil (kesamaan), Syarik (sekutu), Zaujah (isteri), dan Walad (anak). Pokoknya apapun yang terlintas di benakmu tentang zat Allah maka Ia maha suci darinya (Wakullu ma khathara bibalika halik, wallahu bikhilafi dzalik).
T: Kapan seseorang itu dikatakan musyrik?
J:
Bila ia menisbatkan sifat ketuhanan kepada selain Allah. Bila ia
menyekutukan dan menuhankan selain Allah dengan menisbatkan kepadanya Muqtadlayat Uluhiyyah.
T: ………...............
J: kemudian hindarilah Awhaluttauhid..!!
T: Apa itu?
J: Awhaluttauhid merupakan kontaminasi bertauhid (hal-hal yang dapat menodai bahkan merusak ketauhidan seorang muslim).
T: Apa saja hal-hal itu?
J: Ada empat; Hulul, Ittihad, Tasybih dan Ta’thil.
T: Apa itu Hulul?
J: Hulul
adalah berkeyakinan bahwasanya Allah Swt. telah menempati atau merasuki
makhluk-Nya sebagaimana keyakinan kristen bahwa Allah Swt. telah
merasuki Siti Maryam as. yang kemudian akhirnya melahirkan anak tuhan
(Isa).
T: Apa itu Ittihad?
J: Ittihad
adalah berkeyakinan bahwa Allah Swt. bersatu (menyatu) dengan
makhluk-Nya sebagaimana keyakinan nasrani bahwa Allah telah bersatu
dengan Isa.
T: Lalu apa itu Tasybih?
J: Tasybih
adalah berkeyakinan bahwa Allah Swt. serupa dengan makhluk-Nya, yang
kemudian lalu menyembah makhluk itu. Rasulullah Saw. bersabda: “Al-Mushawwiruna finnar”;
Sesunguhnya orang-orang yang meyakini di dalam hati mereka bahwa Allah
Swt. dapat digambarkan dalam bentuk tertentu kemudian mereka
menyembahnya, maka mereka akan dijerumuskan ke dalam api neraka.
Sebagaimana orang yang meyakini bahwa Tuhan menyerupai sapi kemudian
mengkultuskannya, atau beri'tikad bahwa Tuhan menyerupai benda-benda
luar angkasa seperti matahari, bintang, rembulan dan lain sebagainya.
T: Ta’thil?
J: Ta’thil
adalah menafikan / mengabaikan (meniadakan) fungsi asma’-Nya, dan
mengatakan bahwa Allah Swt. bekerja dengan zatnya, sementara
nama-nama-Nya tidak berfungsi (hanya sebatas nama). Seakan menyerupakan
Allah dengan manusia sebab nama-nama manusia hanya sebatas nama dan
tidak bekerja. Sementara nama-nama Allah tentu beda dengan nama-nama
manusia yang hanya sebatas nama. Zat Allah berbeda dengan zat kita, maka
nama-nama-Nya pun tentu harus berbeda. Bila kita samakan maka inilah
yang disebut Ta’thil sekaligus Tasybih.
T: berarti nama-nama Allah itu riil dan aktif bekerja, bukan sebatas nama sebagaimana nama-nama kita?
J: Iya.
T: Lalu?
J: Tentunya Allah maha suci dari bekerja dengan zat-Nya. Ia selalu bekerja dengan asma’ dan sifat-Nya.
T: Maksudnya?
J: Misalnya ketika Allah hendak menciptakan Nabi Adam as. Ia bekerja dengan nama al-Mubdi’, lalu ketika Allah hendak mengumpulkan bahan-bahan untuk menciptakannya maka Ia bekerja dengan nama (ism) al-Mujid, kemudian Adam mulai diciptakan Allah dengan nama al-Khaliq, kemudian dibentuk dengan nama al-Mushawwir, lalu dikokohkan dengan nama al-Qawiy dan al-Matin, kemudian dihidupkan dengan nama al-Muhyi, lalu penglihatan dan pendengarannya diaktifkan oleh Allah dengan nama Sami’ dan Bashir-Nya, kemudian Allah memberinya rizki dengan nama Raziq-Nya, begitu seterusnya sampai nyawa tercabut dengan nama al-Qabidl dan diwafatkan dengan nama al-Mumit kemudian dibangkitkan dengan al-Ba’its. Begitu pula nama-nama serta sifat-sifat yang lain masing-masing tidak athlan atau mu’aththal melainkan aktif bekerja sesuai kehendak dan ketentuan zat-Nya yang maha suci.
T: Ooo…
J:
Sebagai pendekatan semata, saya ingin meberi contoh seorang presiden
yang bertanggung jawab terhadap pendidikan, kesehatan, keamanan,
transportasi, makanan dan ekonomi rakyatnya. Apakah ia mengurus semua
itu dengan zatnya? mengajar sendiri di setiap sekolahan? merawat sendiri
di setiap rumah sakit? memperbaiki jalan raya dengan tangannya sendiri
(zatnya)? Tentu tidak, melainkan dengan sifat kepresidenannya. Dengan
keaktifan bawahan-bawahan dan suruhan-suruhan-Nya. Namun semua itu
adalah ketentuan dan urusannya pula sebab ia yang berkehendak dan
berkuasa.
T: Ooo…
J:
Rakyat tidak berinteraksi dan berkomunikasi dengan zat presiden secara
langsung, melainkan dengan sifatnya sebagai pemimpin negara, dan
berhubungan langsung dengan para pekerja yang telah dipekerjakan oleh
presiden.
T: Ooo…
J: Maka dari itu, di saat kita berdo’a memohon rizki, kita mengadu dan bermunajat kepada-Nya dengan memanggil nama Razzaq-Nya (ya Razzaq), di saat sakit memanggil nama Syafi-Nya (ya Syafi), di saat miskin memanggil nama Mughani-Nya (ya Mughni), di saat lemah memanggil nama Qawiy dan Matin-Nya (ya Qawiyyu ya Matin), ketika dizalimil memanggil nama Hakam dan Adl-Nya (ya Hakamu ya Adlu), begitu seterusnya sehingga Allah pun segera mengaktifkan nama-nama-Nya yang dengannya Ia memenuhi hajat kita.
T: Ooo…
J: Kembali saya menyebut ulang Awhaluttauhid yang harus kita hindari sejauh-jauhnya; Hulul, Ittihad, Tasybih dan Ta’thil.
T: Masya’allah… Semoga tauhid kita kokoh dan tsabit.
J: Apa itu tauhid?
T: ……….!?!?!?!?
J: Tauhid itu artinya pengesaan, menyakini bahwa Allah itu esa, Allah itu ahad sekaligus wahid. Tauhid adalah membersihkan ke-ahad-an dan ke-wahid-an Allah itu dari hal-hal yang tidak layak bagi-Nya.
T: Ahad dan Wahid…?!?
J: Maulana Syekh Mukhtar Ra. mendefinisikan tauhid dengan: Tanzihul-ahad anil-adad wa tanzihul-wahid anitta’addud. Mensucikan sifat esa-Nya dari bilangan dan mensucikan sifat tunggal-Nya dari berbilang-bilang.
T: Apa perbedaan antara sifat esa (ahad) dengan sifat tunggal (wahid)?
J: Al-ahad la yu’ad wala yata’addad. Wal-wahid yu’ad wala yata’addad.
T: ……………..?!?!?!?
J: Ahad
(sifat esa) itu bukanlah bilangan dan tidaklah terbilang (bukan satu.
Maka tidak ada duanya), dan tidak pula berbilang-bilang (tidak banyak).
Sedangkan wahid (sifat tunggal) itu terbilang (ia satu dan ada
duanya bahkan tiga dan empatnya pun ada) namun walau demikian ia tetap
tak berbilang-bilang (tidak banyak, tetap satu / tunggal).
T: …………….……
J: Allah Swt. itu maha ahad dan maha wahid. Ia ahad dari segi zat dan ketuhanan-Nya, dan Ia wahid
dari segi asma’ dan sifat-Nya. Sebab zat-Nya tak terbilang dan tak
berbilang-bilang, sementara asma’ dan sifat-Nya terbilang (1, 2, 3,
sampai 99) namun yang memilikinya tak berbilang-bilang (tidak banyak,
tetap satu yaitu Allah swt.).
T: ………………..
J: Untuk lebih mengerti perbedaan antara ke-ahad-an dan ke-wahid-an, maka sebagai contoh: anda sendiri… Anda itu ahad dan wahid. Ahad
dari segi zat anda sendiri dan sidik jari yang anda miliki, tak
terbilang satu, dan tidak ada duanya, dan hanya anda saja yang
memilikinya. Sementara anda itu wahid dari segi sifat-sifat anda
sebagai orang yang baik, pemurah, kuat, kaya dan lain sebagainya,
sifat-sifat anda terbilang (1, 2, 3, 4….) namun anda tetap satu dan tak
berbilang-bilang (tidak banyak) yaitu anda sendiri.
T: Ooo…
J: Maka dari itu, tauhid adalah membersihkan ahadiyah Allah dari adad (bilangan), dan membersihkan wahidiyah-Nya dari ta’addud (berbilang-bilang / banyak).
T: Bukannya ahad dengan wahid itu sama?
J: Tidak sama. Bila kita campuradukkan antara ahad dan wahid maka itu mengakibatkan ilhad “Wa dzarulladzina yulhiduna fi asma’ihi”, dan seolah kita telah mengatakan bahwa zat Allah itu banyak dan berbilang-bilang.
T: Ooo…
J: Ada pertanyaan lain?
T: …………
J: Ketahuilah juga bahwa Tauhid itu memiliki nama, kata dan simbol. Namanya: La ilaha illallah. Katanya: Allah. Simbolnya: Ha.
T: Maksudnya?
J: Sebagaimana United Stated of America sebagai nama, America sebagai kata / sebutan, dan USA sebagai simbol / singkatan.
T: ……………
J: Ada pertanyaan lain?
T: Bagaimana hubungan antara Allah, Nabi dan Wali?
J: Antara Tuhan, Nabi dan Wali tidak ada pemisahan dan sekaligus juga tidak ada penyatuan / pencampuradukan.
T: …………………….
J:
Jika dipisahkan maka seolah-olah apa yang dimiliki oleh Nabi dan Wali
bukan bersumber dari Tuhan melainkan dari diri mereka masing-masing.
Nabi / Rasul adalah utusan Tuhan, Wali adalah kekasih Tuhan sekaligus
pewaris Nabi. Maka tidak boleh dipisahkan “Walillahil-izzatu wa lirasulihi wa lil-mu’minin”… “Wa quli’malu fa sayarallahu amalakum wa rasuluhu wal-mu’minun”.
T: Dan jika disatukan maka terjadilah trinitas…..
J: Benar. Jadi kita harus tanam dalam lubuk hati kita Nuqthah Muhayidah agar dapat meraih Shirat Mustaqim.
Tuhan tetap tuhan dan tidak akan berubah menjadi nabi atau wali. Nabi
tetap nabi, tidak akan pernah berubah menjadi tuhan atau wali. Demikian
pula Wali tetap wali, tidak akan pernah berubah menjadi tuhan atau nabi.
T: Artinya; nabi tidak boleh dituhankan dan wali tidak boleh dinabikan dan juga tidak boleh dituhankan?
J:
Iya. Bila dicampuradukkan maka kita telah mengikuti jejak nasrani.
Jangan pula dipisahkan karena bila dipisahkan maka kita telah mengikuti
jejak wahabi yang selalu mengabaikan para utusan dan kekasih Tuhan
dengan alasan bahwa kebaikan hanya ada pada Tuhan dan hanya boleh
diminta langsung dari Tuhan, seakan-akan yang ada pada nabi dan wali itu
bukan pemberian Tuhan untuk kita melalui mereka, seolah-olah Tuhan
tidak pernah mengutus prantara, seakan-akan nabi dan wali tidak pernah
ada fungsinya.
T: …………………
J: Allah berfirman : “Idz yaqulu li shahibihi la tahzan innallaha ma’ana”;
Nabi berkata kepada Wali: Jangan bersedih, Tuhan bersama kita… amat
jelas, sekali lagi, tidak boleh ada pemisahan dan tidak pula boleh ada
penyatuan / pencampuradukan.
T: Boleh dijelaskan lagi tentang tidak bolehnya ada pemisahan?
J: Maulana Syekh Mukhtar Ra. menggagas sebuah kaidah yaitu: ‘Laisa ainuhu wa laisa ghairuhu’.
Artinya: Para nabi dan rasul adalah bukan Allah dan bukan pula selain
Allah. Para wali juga demikian, bukan Allah dan bukan nabi, bukan pula
selain Allah atau selain nabi.
T: Bukan Allah sudah pasti. Bukan selain-Nya….?!?!?!
J:
Bukan selain-Nya berarti: Mereka itu adalah utusan-utusan-Nya,
suruhan-suruhan-Nya, kekasih-kekasih-Nya, prantara-prantara menuju-Nya,
maka apa yang dibawa oleh mereka merupakan persis apa yang ada pada-Nya.
Allah berfirman: “Barang siapa taat kepada Rasul maka ia telah taat
kepada Allah” sebab Rasul walau ia bukan Allah (bukan zat Allah / bukan
tuhan) namun ia juga bukan selain Allah, toh ia merupakan utusan yang ma’dzun dari Allah. Buktinya: Taat kepada Rasul = (sama dengan) Taat kepada Allah.
T:
Ooo… Jadi fungsi diutusnya Rasul maupun Wali adalah untuk menyampaikan
hidayah Allah kepada umat manusia yang dengan mentaati mereka maka telah
mentaati Allah swt.
J: Al-khairu kulluhu biyadillah, yadla’uhu haitsu yasya’, wa alaina an na’khudzahu wa nathlubahu haitsu wadla’ahu.
Segala jenis kebaikan ada di tangan Allah, namun Ia meletakkan kebaikan
itu pada siapa saja yang Ia kehendaki. Kewajiban kita hanyalah mengemis
kebaikan-Nya itu dimana Ia meletakkannya. Ada pertanyaan lain?
T: Bagaimana dengan ayat “Yadullahi fauqa aidihim”? Apa yang dimaksud dengan tangan Allah dalam ayat itu?
J: Setiap kata benda bila dinisbatkan kepada manusia maka penisbatan tersebut kadang merupakan nisbah juz’iyyah seperti kalimat Anfi (hidungku), Aini (mataku), Rijli (kakiku). Kadang pula penisbatan itu merupakan nisbah milkiyyah seperti Sayyarati (mobilku), Sa’ati (jamku), Kitabi (bukuku). Sedangkan bila sebuah kata benda dinisbatkan kepada Allah maka satu-satunya penisbatan tersebut adalah nisbah milkiyyah (kepemilikan), dan tidak ada kemungkinan sedikitpun bahwa penisbatan tersebut merupakan nisbah juz’iyyah yang berarti Allah tersusun dari pelbagai unsur.
T: Ooo…
J: Naqatullah (unta Allah), Narullah (neraka Allah), Abdullah (hamba Allah), Yadullah
(tangan Allah)…. Semua yang dinisbatkan kepada Allah maka bermakna
milik-Nya, bukan bagian dari-Nya. Dan oleh karena semua yang ada di
dunia ini adalah milik-Nya maka tidak ada salahnya menisbatkan apapun
kepada-Nya…. Komputer Allah, botol Allah, kursi Allah, pintu Allah, meja
Allah, kaki Allah, hidung Allah, rambut Allah, dll. dengan catatatn:
semua penisbatan itu merupakan nisbah milkiyyah semata, dan bukan nisbah juz’iyyah.
T: Iya iya iya…
J: Lalu bagaimana kita menafsirkan ayat “Yadullahi fauqa aidihim”?
T: Tangan milik Allah di atas tanagn-tangan mereka?
J:
Iya, dan tangan milik Allah di sini adalah tangannya Rasulullah Saw.
(tangan yang merupakan bagian dari jasadnya). Sebab jika seluruh jasad
beliau adalah milik Allah maka bagian-bagian beliau pun adalah milik-Nya
juga, sebagaimana seseorang mengatakan mobilku (mobil milikku secara
keseluruhan) maka ia sangat berhak mengatakan juga: banku, kursiku,
kacaku, sebab ia telah memiliki mobil secara keseluruhan maka
bagian-bagiannya pun adalah miliknya. Rasul Saw. adalah milik Allah,
maka tangan, kaki dan kepala beliau adalah milik Allah juga dan tidak
salah dinisbatkan kepada-Nya dengan penisbatan kepemilikan.
T: …………………..Iya iya
J: Perhatikan redaksi ayatnya baik-baik: “Innalladzina yuba’yi’unaka innama yuba’yi’unallaha yadullahi fauqa aidihim”;
Sesungguhnya para sahabat yang dibai’at olehmu hai Muhammad adalah
sebenarnya mereka dibai’at oleh Allah… setelah itu Rasul meletakkan
tangan suci beliau di atas tangan-tangan para sahabat (saat bai’at) lalu
Allah melanjutkan: Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka. Tangan
Muhammad yang menjadi milik Allah itu di atas tangan-tangan mereka.
T: Masya’allah….
J: Ayat tersebut mengatakan “Fauqa aidihim” (di atas tangan-tangan mereka), bukan Fauqa aidikum (di
atas tangan-tangan kalian)… berarti Rasul tidak termasuk mereka sebab
tangan beliaulah yang saat itu berada di atas tangan-tangan mereka…
Tangan Rasul itulah tangan Allah swt… Tangan bagian Rasul itulah tangan
milik Allah swt.
T: Bukankah tangan-tangan mereka adalah milik Allah juga?
J: Hikmah dari ayat itu adalah untuk menguatkan bahwa Rasul dan Allah tidak boleh dipisahkan (Laisa ainuhu wa laisa ghairuhu).
Taat kepada Rasul = taat kepada Allah. Bai’at dengan Rasul = bai’at
dengan Allah (tidak beda sama sekali, kecuali dalam hal menyembah saja,
maka hanya Allah-lah yang wajib disembah). Hikmah ayat itu untuk
menambah keyakinan para sahabat bahwa Rasul bukanlah selain Allah (tidak
boleh dipisahkan).
T: Iya iya, sekarang saya faham.
J: Ada pertanyaan lain?
T: Qur’an itu qadim atau hadits?
J: Qur’an itu qadim dan hadits. Qadim dari segi kalam Allah. Hadits dari segi qaul Rasulullah.
T: Perbedaan kalam dengan qaul?
J:
Ibarat presiden yang mengirim salam kepada hadirin pada sebuah
pertemuan. Walaupun ia tidak datang, namun melalui menteri, salam
tersebut disampaikan. Ditinjau dari segi kalam, salam tersebut adalah kalam presiden. Sedangkan ditinjau dari segi qaul, salam tersebut adalah qaul
sang menteri. Maka al-Qur’an adalah kalam Allah (qadim) sekaligus qaul
Rasulullah (hadits) sebab beliaulah yang menyampaikannya kepada umat,
maka al-Qur’an adalah qadim dan hadits. Allah berfirman: “Innahu laqaulu Rasulin karim”; Sesungguhnya al-Qur’an adalah qaulnya Rasul yang mulia.
T: Manusia itu musayyar atau mukhayyar?
J: Manusia itu mukhayyar dalam keadaan tahu dan mampu. Musayyar dalam keadaan tidak tahu atau tidak mampu. Orang yang mukhayyar disebut Abdu amr, sedangkan orang yang musayyar disebut Abdu iradah. Orang yang mukhayyar itu mukallaf dan dihisab, sedengkan yang musayyar tidak mukallaf dan tidak dihisab.
T: Allahu Akbar….!!!!
J: Apa maksudmu mengatakan Allahu Akbar?
T: Saya kagum.
J: Maksudku: apa artinya Allahu Akbar?
T: Allah maha besar dari segala sesuatu (Allahu Akbar min kulli syai’).
J: Apakah Allah adalah sesuatu (syai’)
sehingga ukuran-Nya dibanding-bandingkan dengan ukuran sesuatu yang
lain? apakah Allah berukuran besar dan panjang? Apa layak Allah
dibanding-bandingkan dengan makhluk-makhluk-Nya?
T: Lalu apa makna Allahu Akbar?
J: Allah maha besar untuk diketahui (Allahu Akbar min an yu’raf). Allah itu muthlaq dan tidak muqayyad
oleh ruang, waktu, ukuran maupun berat. Allah maha suci dari itu semua.
Allah tidak bisa diketahui oleh siapapun. Allah maha besar untuk
dideteksi atau diukur atau dikenal secara sempurna. Apapun yang
terlintas di benak kita tentang-Nya maka Dia maha besar dan maha suci
dari itu semua “Subhana Rabbika Rabbil-izzati amma yashifun”.
T: Ooo…
J:
Syekh Abu Yazid al-Busthami Ra. pernah ditanya: Apakah Allahu Akbar
berarti Allah maha besar dari yang selain-Nya (dari segala sesuatu /
dari segala-galanya)? Beliau menjawab: Tidak ada sesuatupun bersama-Nya
sehingga Ia menjadi lebih besar darinya. Beliau ditanya kembali: Lalu
apa maknanya? Beliau menjawab: Allahu Akbar artinya Allah maha besar
untuk dikias dengan manusia atau dijadikan sebagai alat mengkias atau
dijangkau oleh panca indra (Akbar min an yuqasa binnas, aw yadkhula tahtal-qiyas aw tudrikahul-hawas).
T: Terima kasih sebelum dan sesudanhya, malam ini saya sudah dapat banyak ilmu.
J: Syai’ lillah Maulana Syekh Mukhtar.