flash fortex

Selasa, 20 November 2012

BIOGRAFI SYECH SITI JENAR




            Syekh Siti Jenar lahir sekitar tahun 829 H/1348 C/1426 M di lingkungan Pakuwuan Caruban, pusat kota Caruban Larang waktu itu, yang sekarang lebih dikenal sebagai Astana Japura, sebelah tenggara Cirebon. Suatu lingkungan yang multi-etnis, multi-bahasa dan sebagai titik temu kebudayaan serta peradaban berbagai suku.
Selama ini, silsilah Syekh Siti Jenar masih sangat kabur. Kekurangjelasan asal-usul ini juga sama dengan kegelapan tahun kehidupan Syekh Siti Jenar sebagai manusia sejarah.
Pengaburan tentang silsilah, keluarga dan ajaran Beliau yang dilakukan oleh penguasa muslim pada abad ke-16 hingga akhir abad ke-17. Penguasa merasa perlu untuk “mengubur” segala yang berbau Syekh Siti Jenar akibat popularitasnya di masyarakat yang mengalahkan dewan ulama serta ajaran resmi yang diakui Kerajaan Islam waktu itu. Hal ini kemudian menjadi latar belakang munculnya kisah bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari cacing.
Dalam sebuah naskah klasik, cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas, “Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.” [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia berdarah kecil saja (rakyat jelata), bertempat tinggal di desa Lemah Abang]…
Jadi Syekh Siti Jenar adalah manusia lumrah hanya memang ia walau berasal dari kalangan bangsawan setelah kembali ke Jawa menempuh hidup sebagai petani, yg saat itu, dipandang sebagai rakyat kecil oleh struktur budaya Jawa, disamping sebagai wali penyebar Islam di Tanah Jawa.
Syekh Siti Jenar yg memiliki nama kecil San Ali dan kemudian dikenal sebagai Syekh ‘Abdul Jalil adalah putra seorang ulama asal Malaka, Syekh Datuk Shaleh bin Syekh ‘Isa ‘Alawi bin Ahmadsyah Jamaludin Husain bin Syekh ‘Abdullah Khannuddin bin Syekh Sayid ‘Abdul Malikal-Qazam. Maulana ‘Abdullah Khannuddin adalah putra Syekh ‘Abdul Malik atau Asamat Khan. Nama terakhir ini adalah seorang Syekh kalangan ‘Alawi kesohor di Ahmadabad, India, yang berasal dari Handramaut. Qazam adalah sebuah distrik berdekatan dgn kota Tarim di Hadramaut.
Syekh ‘Abdul Malik adalah putra Syekh ‘Alawi, salah satu keluarga utama keturunan ulama terkenal Syekh ‘Isa al-Muhajir al-Bashari al-‘Alawi, yang semua keturunannya bertebaran ke berbagai pelosok dunia, menyiarkan agama Islam. Syekh ‘Abdul Malik adalah penyebar agama Islam yang bersama keluarganya pindah dari Tarim ke India. Jika diurut ke atas, silsilah Syekh Siti Jenar berpuncak pada Sayidina Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah. Dari silsilah yang ada, diketahui pula bahwa ada dua kakek buyutnya yang menjadi mursyid thariqah Syathariyah di Gujarat yg sangat dihormati, yakni Syekh Abdullah Khannuddin dan Syekh Ahmadsyah Jalaluddin. Ahmadsyah Jalaluddin setelah dewasa pindah ke Kamboja dan menjadi penyebar agama Islam di sana.
Adapun Syekh Maulana ‘Isa atau Syekh Datuk ‘Isa putra Syekh Ahmadsyah kemudian bermukim di Malaka. Syekh Maulana ‘Isa memiliki dua orang putra, yaitu Syekh Datuk Ahamad dan Syekh Datuk Shaleh. Ayah Syekh Siti Jenar adalah Syekh Datuk Shaleh adalah ulama sunni asal Malaka yang kemudian menetap di Cirebon karena ancaman politik di Kesultanan Malaka yang sedang dilanda kemelut kekuasaan pada akhir tahun 1424 M, masa transisi kekuasaan Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sumber-sumber Malaka dan Palembang menyebut nama Syekh Siti Jenar dengan sebutan Syekh Jabaranta dan Syekh ‘Abdul Jalil.
Pada akhir tahun 1425, Syekh Datuk Shaleh beserta istrinya sampai di Cirebon dan saat itu, Syekh Siti Jenar masih berada dalam kandungan ibunya 3 bulan. Di Tanah Caruban ini, sambil berdagang Syekh Datuk Shaleh memperkuat penyebaran Islam yg sudah beberapa lama tersiar di seantero bumi Caruban, besama-sama dgn ulama kenamaan Syekh Datuk Kahfi, putra Syehk Datuk Ahmad. Namun, baru dua bulan di Caruban, pada tahun awal tahun 1426, Syekh Datuk Shaleh wafat.
Sejak itulah San Ali atau Syekh Siti Jenar kecil diasuh oleh Ki Danusela serta penasihatnya, Ki Samadullah atau Pangeran Walangsungsang yang sedang nyantri di Cirebon, dibawah asuhan Syekh datuk Kahfi.
Jadi walaupun San Ali adalah keturunan ulama Malaka, dan lebih jauh lagi keturunan Arab, namun sejak kecil lingkungan hidupnya adalah kultur Cirebon yang saat itu menjadi sebuah kota multikultur, heterogen dan sebagai basis antarlintas perdagangan dunia waktu itu.
Saat itu Cirebon dgn Padepokan Giri Amparan Jatinya yang diasuh oleh seorang ulama asal Makkah dan Malaka, Syekh Datuk Kahfi, telah mampu menjadi salah satu pusat pengajaran Islam, dalam bidang fiqih dan ilmu ‘alat, serta tasawuf. Sampai usia 20 tahun, San Ali mempelajari berbagai bidang agama Islam dengan sepenuh hati, disertai dengan pendidikan otodidak bidang spiritual.
Nasab Syekh Siti Jenar Bersambung Sampai ke Rasulullah saw diakui oleh Rabithah Azmatkhan
Abdul Jalil Syeikh Siti Jenar bin
1. Datuk Shaleh bin
2. Sayyid Abdul Malik bin
3. Sayyid Syaikh Husain Jamaluddin atau Jumadil Qubro atau Jamaluddin Akbar Al-Khan (Gujarat, India) bin
4. Sayyid Ahmad Shah Jalal atau Ahmad Jalaludin Al-Khan bin
5. Sayyid Abdullah AzhmatKhan (India) bin
6. Sayyid Amir ‘Abdul Malik Al-Muhajir AzhmatKhan (Nasrabad) bin
7. Sayyid Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut, Yaman) bin
8. Muhammad Sohib Mirbath (lahir di Hadhramaut, Yaman dimakamkan di Oman) bin
9. Sayyid Ali Kholi’ Qosim bin
10. Sayyid Alawi Ats-Tsani bin
11. Sayyid Muhammad Sohibus Saumi’ah bin
12. Sayyid Alawi Awwal bin
13. Sayyid Al-Imam ‘Ubaidillah bin
14. Ahmad al-Muhajir (Hadhramaut, Yaman ) bin
15. Sayyid ‘Isa Naqib Ar-Rumi (Basrah, Iraq) bin
16. Sayyid Muhammad An-Naqib bin
17. Sayyid Al-Imam Ali Uradhi bin
18. Sayyidina Ja’far As-Sodiq (Madinah, Saudi Arabia) bin
19. Sayyidina Muhammad Al Baqir bin
20. Sayyidina ‘Ali Zainal ‘Abidin {menikah dengan (34.a) Fathimah binti (35.a) Sayyidina Hasan bin Ali bin Abi Tholib, kakak Imam Hussain} bin
21. Al-Imam Sayyidina Hussain bin
(22.a) Imam Ali bin (23.a)Abu Tholib dan (22.b) Fatimah Az-Zahro binti (23.b) Muhammad SAW  !
Baca Selanjutnya....

Senin, 16 Juli 2012

TEOLOGI SUFI



T: Tentunya tiada tuhan selain Allah.
J: Pasti.
T: Apa maksud dari Tiada tuhan selain Allah (La ilaha illallah)?
J: Maksudnya: Tiada satupun yang memiliki kriteria tuhan (sebagian maupun seluruhnya) melainkan Allah.
T: Kriteria tuhan?
J: Iya. Karena hanya Allah saja yang memenuhi kriteria itu maka dari itu tiada tuhan selain-Nya, dan tiada patut disembah melainkan Dia saja. Saya mengucapkan kalimat La ilaha illallah (Tiada tuhan selain Allah) sebab saya yakin hanya Dialah satu-satunya yang mempunyai kriteria tuhan.
T: Kalau ternyata saya juga memiliki kriteria itu bagaimana?
J: Siap saya sembah juga..!!
T: Loh...!!!!!!!!!
J: Iya. Seandainya ada 1000 orang memiliki kriteria itu maka saya siap menyembah 1000 orang itu semuanya tanpa kecuali.
T: Apa saja kriteria tuhan itu?
J: Ada empat kriteria, yang disebut dengan Muqtadlayat Uluhiyyah; Sabq, Ithlaq, Sarmadiyyah dan Dzatiyyah.
T: …………….. !?!?!?!?!?!?!?!
J: Iya cuma empat saja. Sabq artinya: tidak ada yang mendahlui-Nya. Tidak ada satupun mendahului keberadaan-Nya. Yang awal tanpa permulaan.
T: Apa itu Ithlaq?
J: Ithlaq artinya: mutlak dan tak terbatas, bebas dari ruang dan waktu.
T: Apa itu Sarmadiyyah?
J: Sarmadiyyah artinya: kekal dan abadi, tidak ada akhirnya.
T: Apa itu Dzatiyyah?
J: Dzatiyyah artinya: tidak ada yang mengajar-Nya, tidak ada yang menciptakan atau memberikan-Nya. Zat-Nya, semua yang ada pada-Nya, semua nama dan sifat-Nya, semua yang dimiliki oleh-Nya adalah 100% murni dari-Nya, bukan dari selain-Nya.
T: ……………..
J: Siapapun yang zatnya maupun sifatnya memiliki keempat kriteria tadi maka dia adalah tuhan yang patut disembah.
T: Fir’aun misalnya?
J: Fir’aun… coba kita seleksi bersama apakah dia tuhan yang patut disembah atau tidak? Kita mulai dari zatnya, dan kita seleksi melalui empat kriteria tuhan satu-persatu. Apakah Fir’aun orang yang pertama kali ada? bukankah banyak yang mendahuluinya? bukankah ia diciptakan dan dilahirirkan?
T: Banyak yang mendahuluinya. Ia diciptakan dan dilahirkan. Ia bukan yang awal.
J: Berarti dia sudah tidak lulus seleksi sejak kriteria pertama (Sabq).
T: Ooo…
J: Apakah ruang dan waktu telah membatasinya?
T: Iya… Berarti zatnya juga tidak memiliki kriteria kedua (Ithlaq).
J: Apakah Fir’aun masih hidup sampai sekarang?
T: Tidak. Ia sudah berakhir dan mati… Berarti zatnya tidak punya kriteria ketiga juga (Sarmadiyyah).
J: Apakah zatnya berasal dari dirinya pula? atau ada sumber dan asal usulnya?
T: Tentu ada, sebab ia diciptakan Allah dan dilahirkan kedua orang tuanya… Berarti kriteria keempat (terakhir) pun tidak dimilikinya.
J: Maka Fir’aun tidak pantas jadi tuhan.
T: Tapi Fir’aun punya sifat kuat, berilmu, berkuasa dan lain sebagainya.
J: Kita sudah menyeleksi zatnya. Sekarang mari kita seleksi sifat-sifatnya. Kekuatan, penglihatan, pendengaran, kekuasaan, ketinggian, kejayaan dan kekayaan yang dimiliki oleh Fir’aun, apakah ia yang pertama kali memilikinya?
T: Tidak…
J: Semua sifat-sifat dan kekayaan maupun otoritas yang dimiliki Fir’aun apakah bersifat mutlak?
T: Sudah pasti terbatas.
J: Apakah sifat-sifatnya itu tetap melekat padanya untuk selama-lamanya?
T: Sejak mati maka semua sifatnya lepas darinya.
J: Apakah semua sifatnya berasal dari dirinya tanpa ada yang memberikan atau mengajarnya?
T: Sudah pasti ada sumbernya.
J: Simpulkan..!!
T: Karena zat, nama dan sifat Fir’aun tidak memenuhi empat kriteria tuhan maka Fir’aun bukanlah tuhan yang patut disembah.
J: Ada pertanyaan lain?
T: Masya’allah.
J: Terima kasih kita ucapkan untuk Maulana Syekh Mukhtar Ra. (Syekh Thariqah Dusuqiyah Muhammadiyah). Saya sebutkan kembali: Muqtadlayat Uluhiyyah (kriteria tuhan) ada empat; Sabq, Ithlaq, Sarmadiyyah dan Dzatiyyah. Jika kita fahami dengan baik dan tepat maka jernihlah pikiran kita dalam membedakan antara Tuhan dan makhluk-Nya.
T: Bagaimana dengan sifat-sifat 20 yang wajib, ja’iz maupun mustahil bagi Allah? yang digagas oleh Imam Abul-Hasan al-Asy’ari?
J: Benar. Namun, terlalu panjang lebar, butuh segudang rincian, mengundang banyak pertanyaan dan perdebatan, kurang simpel, agak rumit dicerna, lumayan jauh dari kesederhanaan, cukup klasik dan tidak kontemporer, sangat memerlukan ringkasan yang lebih komprehensif dan mudah dicerna maupun difahami oleh semua orang serta lebih mampu mengkokohkan ketauhidan dan keimanan setiap muslim. Ada yang menyingkatnya menjadi 13 sifat saja, ada yang malah mengingkari dan merubahnya secara total, ada pula yang menerimanya seutuhnya namun tak mampu mengembangkan jangkauan kepercayaannya melalui teori teologi seperti itu.
T: Lalu apa saja sifat-sifat Allah menurut Thariqah Dusuqiyah Muhammadiyah ?
J: Sebelumnya, saya ingin mengemukakan bahwasanya Ahlussunnah wal-Jama’ah (oleh para ulama’) bukan hanya Asy’ariah wa Maturidiah saja, namun konsep ASWAJA meliputi 3 golongan / kelompok: Asy’ariah wa Mturidiah, Ahli hadits (ahli dalil sam’i), dan ketiga: para Mujaddid setiap zaman. Syekh Al-Qari’ menyatakan bahwasanya kaum sufi juga merupakan bagian dari ASWAJA, bahkan kaum sufi-lah sebaik-baik dan sekuat-kuat golongan walau mereka memiliki aqidah yang independen, berbeda dengan yang lain dalam metode dan beberapa furu’ dan fushulnya. Disamping kriteria tuhan yang Allah miliki, Ia juga memiliki sifat-sifat tertentu, yaitu (menurut Maulana Syekh Mukhtar Ra.) ada tujuh sifat; Alim (berilmu), Qadir (berkuasa), Murid (berkehendak), Hay (hidup), Sami’ (mendengar), Bashir (melihat), dan Mutakallim (berbicara / berfirman).
T: Manusia juga bisa memiliki ketujuh sifat itu..!!
J: Namun terlepas dari keempat kriteria tuhan.
T: Iya, benar..!
J: Sifat-sifat dan nama-nama Allah boleh saja dinisbatkan kepada selain Allah namun yang pasti terlepas dari Muqtadlayat Uluhiyyah yang mana itu telah menafikan ketuhanannya. Contohnya Nabi Isa as. adalah khaliq (pencipta) “Anni akhluqu lakum minaththini kahai’atiththayr” namun ke-khaliq-an beliau terlepas dari Muqtadlayat Uluhiyyah maka ia bukan tuhan walaupun mampu menciptakan, sebab ia menciptakan burung melalui izin Allah maka tidak dzatiy namun muktasab, dan tidak muthlaq melainkan muqayyad. Begitu juga nama Rahim, Karim, Kabir, Aziz, dll. jika dilekatkan pada selain Allah maka boleh saja tanpa dicampur dengan Muqtadlayat Uluhiyyah. Sebab bagaimanapun, tetap tidak akan Sabiq (masbuq), tidak Muthlaq (muqayyad), tidak Sarmadiy (yantahi / lahu nihayah), dan tidak Dzatiy (muktasab). Contohnya banyak dalam Qur’an: “Rasulin karim”, “Dzibhin Azim”, “Syaikhun kabir”, “Rasulun min anfusikum azizun”, dll. Kecuali nama Allah dan nama Arrahman, tidak boleh dinisbatkan kepada selain Allah, sebab sifat Uluhiyyah dan Rahmaniyyah tidak dimiliki oleh siapapun melainkan Allah Swt. saja.
T: Ooo…
J: Terkadang juga kita tidak menyadari bahwa nama ‘Allah’ bukanlah nama zat-Nya, melainkan ia adalah nama sifat ketuhanan-Nya, sebagaimana Rahim adalah nama sifat kasih sayang-Nya dan Karim sebagai nama sifat kemuliaan-Nya.
T: Lalu apa nama zat-Nya?
J: Karena zat-Nya adalah gaib mutlak maka nama zat-Nya pun gaib, tidak diketahui oleh siapapun melainkan orang-orang yang dikehendaki-Nya saja, nama zat-Nya itulah yang disebut dengan Ism A’zam yang kadang juga berubah setiap zaman dan berbeda-beda di setiap imam.
T: Ooo… Jadi Ism A’zam itu adalah nama yang mengisyratkan zat-Nya?
J: Iya. Berdo’a dengannya, pasti terkabul.. karena Ism A’zam itu merupakan kunci ghaib dan berubah-rubah setiap zaman pada imammnya sebab kunci ghaib tidak satu, tapi banyak sebagaimana firman Allah: “Wa’indahu mafatihul-ghaib” bukan: Wa’indahu miftahul-ghaib !! Ada pertanyaan lain?
T: Kapan seseorang itu dikatakan kafir?
J: Bila ia menisbatkan kepada Allah hal-hal yang Ia maha suci darinya.
T: Apa saja hal-hal itu?
J: Allah Swt. maha suci dari 10 perkara; Kam (kuwalitas), Kaif (kuantitas), Ain (tempat), Nid (pembanding), Dlidl (lawan), Syabih (keserupaan / kemiripan), Matsil (kesamaan), Syarik (sekutu), Zaujah (isteri), dan Walad (anak). Pokoknya apapun yang terlintas di benakmu tentang zat Allah maka Ia maha suci darinya (Wakullu ma khathara bibalika halik, wallahu bikhilafi dzalik).
T: Kapan seseorang itu dikatakan musyrik?
J: Bila ia menisbatkan sifat ketuhanan kepada selain Allah. Bila ia menyekutukan dan menuhankan selain Allah dengan menisbatkan kepadanya Muqtadlayat Uluhiyyah.
T: ………...............
J: kemudian hindarilah Awhaluttauhid..!!
T: Apa itu?
J: Awhaluttauhid merupakan kontaminasi bertauhid (hal-hal yang dapat menodai bahkan merusak ketauhidan seorang muslim).
T: Apa saja hal-hal itu?
J: Ada empat; Hulul, Ittihad, Tasybih dan Ta’thil.
T: Apa itu Hulul?
J: Hulul adalah berkeyakinan bahwasanya Allah Swt. telah menempati atau merasuki makhluk-Nya sebagaimana keyakinan kristen bahwa Allah Swt. telah merasuki Siti Maryam as. yang kemudian akhirnya melahirkan anak tuhan (Isa).
T: Apa itu Ittihad?
J: Ittihad adalah berkeyakinan bahwa Allah Swt. bersatu (menyatu) dengan makhluk-Nya sebagaimana keyakinan nasrani bahwa Allah telah bersatu dengan Isa.
T: Lalu apa itu Tasybih?
J: Tasybih adalah berkeyakinan bahwa Allah Swt. serupa dengan makhluk-Nya, yang kemudian lalu menyembah makhluk itu. Rasulullah Saw. bersabda: “Al-Mushawwiruna finnar”; Sesunguhnya orang-orang yang meyakini di dalam hati mereka bahwa Allah Swt. dapat digambarkan dalam bentuk tertentu kemudian mereka menyembahnya, maka mereka akan dijerumuskan ke dalam api neraka. Sebagaimana orang yang meyakini bahwa Tuhan menyerupai sapi kemudian mengkultuskannya, atau beri'tikad bahwa Tuhan menyerupai benda-benda luar angkasa seperti matahari, bintang, rembulan dan lain sebagainya.
T: Ta’thil?
J: Ta’thil adalah menafikan / mengabaikan (meniadakan) fungsi asma’-Nya, dan mengatakan bahwa Allah Swt. bekerja dengan zatnya, sementara nama-nama-Nya tidak berfungsi (hanya sebatas nama). Seakan menyerupakan Allah dengan manusia sebab nama-nama manusia hanya sebatas nama dan tidak bekerja. Sementara nama-nama Allah tentu beda dengan nama-nama manusia yang hanya sebatas nama. Zat Allah berbeda dengan zat kita, maka nama-nama-Nya pun tentu harus berbeda. Bila kita samakan maka inilah yang disebut Ta’thil sekaligus Tasybih.
T: berarti nama-nama Allah itu riil dan aktif bekerja, bukan sebatas nama sebagaimana nama-nama kita?
J: Iya.
T: Lalu?
J: Tentunya Allah maha suci dari bekerja dengan zat-Nya. Ia selalu bekerja dengan asma’ dan sifat-Nya.
T: Maksudnya?
J: Misalnya ketika Allah hendak menciptakan Nabi Adam as. Ia bekerja dengan nama al-Mubdi’, lalu ketika Allah hendak mengumpulkan bahan-bahan untuk menciptakannya maka Ia bekerja dengan nama (ism) al-Mujid, kemudian Adam mulai diciptakan Allah dengan nama al-Khaliq, kemudian dibentuk dengan nama al-Mushawwir, lalu dikokohkan dengan nama al-Qawiy dan al-Matin, kemudian dihidupkan dengan nama al-Muhyi, lalu penglihatan dan pendengarannya diaktifkan oleh Allah dengan nama Sami’ dan Bashir-Nya, kemudian Allah memberinya rizki dengan nama Raziq-Nya, begitu seterusnya sampai nyawa tercabut dengan nama al-Qabidl dan diwafatkan dengan nama al-Mumit kemudian dibangkitkan dengan al-Ba’its. Begitu pula nama-nama serta sifat-sifat yang lain masing-masing tidak athlan atau mu’aththal melainkan aktif bekerja sesuai kehendak dan ketentuan zat-Nya yang maha suci.
T: Ooo…
J: Sebagai pendekatan semata, saya ingin meberi contoh seorang presiden yang bertanggung jawab terhadap pendidikan, kesehatan, keamanan, transportasi, makanan dan ekonomi rakyatnya. Apakah ia mengurus semua itu dengan zatnya? mengajar sendiri di setiap sekolahan? merawat sendiri di setiap rumah sakit? memperbaiki jalan raya dengan tangannya sendiri (zatnya)? Tentu tidak, melainkan dengan sifat kepresidenannya. Dengan keaktifan bawahan-bawahan dan suruhan-suruhan-Nya. Namun semua itu adalah ketentuan dan urusannya pula sebab ia yang berkehendak dan berkuasa.
T: Ooo…
J: Rakyat tidak berinteraksi dan berkomunikasi dengan zat presiden secara langsung, melainkan dengan sifatnya sebagai pemimpin negara, dan berhubungan langsung dengan para pekerja yang telah dipekerjakan oleh presiden.
T: Ooo…
J: Maka dari itu, di saat kita berdo’a memohon rizki, kita mengadu dan bermunajat kepada-Nya dengan memanggil nama Razzaq-Nya (ya Razzaq), di saat sakit memanggil nama Syafi-Nya (ya Syafi), di saat miskin memanggil nama Mughani-Nya (ya Mughni), di saat lemah memanggil nama Qawiy dan Matin-Nya (ya Qawiyyu ya Matin), ketika dizalimil memanggil nama Hakam dan Adl-Nya (ya Hakamu ya Adlu), begitu seterusnya sehingga Allah pun segera mengaktifkan nama-nama-Nya yang dengannya Ia memenuhi hajat kita.
T: Ooo…
J: Kembali saya menyebut ulang Awhaluttauhid yang harus kita hindari sejauh-jauhnya; Hulul, Ittihad, Tasybih dan Ta’thil.
T: Masya’allah… Semoga tauhid kita kokoh dan tsabit.
J: Apa itu tauhid?
T: ……….!?!?!?!?
J: Tauhid itu artinya pengesaan, menyakini bahwa Allah itu esa, Allah itu ahad sekaligus wahid. Tauhid adalah membersihkan ke-ahad-an dan ke-wahid-an Allah itu dari hal-hal yang tidak layak bagi-Nya.
T: Ahad dan Wahid…?!?
J: Maulana Syekh Mukhtar Ra. mendefinisikan tauhid dengan: Tanzihul-ahad anil-adad wa tanzihul-wahid anitta’addud. Mensucikan sifat esa-Nya dari bilangan dan mensucikan sifat tunggal-Nya dari berbilang-bilang.
T: Apa perbedaan antara sifat esa (ahad) dengan sifat tunggal (wahid)?
J: Al-ahad la yu’ad wala yata’addad. Wal-wahid yu’ad wala yata’addad.
T: ……………..?!?!?!?
J: Ahad (sifat esa) itu bukanlah bilangan dan tidaklah terbilang (bukan satu. Maka tidak ada duanya), dan tidak pula berbilang-bilang (tidak banyak). Sedangkan wahid (sifat tunggal) itu terbilang (ia satu dan ada duanya bahkan tiga dan empatnya pun ada) namun walau demikian ia tetap tak berbilang-bilang (tidak banyak, tetap satu / tunggal).
T: …………….……
J: Allah Swt. itu maha ahad dan maha wahid. Ia ahad dari segi zat dan ketuhanan-Nya, dan Ia wahid dari segi asma’ dan sifat-Nya. Sebab zat-Nya tak terbilang dan tak berbilang-bilang, sementara asma’ dan sifat-Nya terbilang (1, 2, 3, sampai 99) namun yang memilikinya tak berbilang-bilang (tidak banyak, tetap satu yaitu Allah swt.).
T: ………………..
J: Untuk lebih mengerti perbedaan antara ke-ahad-an dan ke-wahid-an, maka sebagai contoh: anda sendiri… Anda itu ahad dan wahid. Ahad dari segi zat anda sendiri dan sidik jari yang anda miliki, tak terbilang satu, dan tidak ada duanya, dan hanya anda saja yang memilikinya. Sementara anda itu wahid dari segi sifat-sifat anda sebagai orang yang baik, pemurah, kuat, kaya dan lain sebagainya, sifat-sifat anda terbilang (1, 2, 3, 4….) namun anda tetap satu dan tak berbilang-bilang (tidak banyak) yaitu anda sendiri.
T: Ooo…
J: Maka dari itu, tauhid adalah membersihkan ahadiyah Allah dari adad (bilangan), dan membersihkan wahidiyah-Nya dari ta’addud (berbilang-bilang / banyak).
T: Bukannya ahad dengan wahid itu sama?
J: Tidak sama. Bila kita campuradukkan antara ahad dan wahid maka itu mengakibatkan ilhadWa dzarulladzina yulhiduna fi asma’ihi”, dan seolah kita telah mengatakan bahwa zat Allah itu banyak dan berbilang-bilang.
T: Ooo…
J: Ada pertanyaan lain?
T: …………
J: Ketahuilah juga bahwa Tauhid itu memiliki nama, kata dan simbol. Namanya: La ilaha illallah. Katanya: Allah. Simbolnya: Ha.
T: Maksudnya?
J: Sebagaimana United Stated of America sebagai nama, America sebagai kata / sebutan, dan USA sebagai simbol / singkatan.
T: ……………
J: Ada pertanyaan lain?
T: Bagaimana hubungan antara Allah, Nabi dan Wali?
J: Antara Tuhan, Nabi dan Wali tidak ada pemisahan dan sekaligus juga tidak ada penyatuan / pencampuradukan.
T: …………………….
J: Jika dipisahkan maka seolah-olah apa yang dimiliki oleh Nabi dan Wali bukan bersumber dari Tuhan melainkan dari diri mereka masing-masing. Nabi / Rasul adalah utusan Tuhan, Wali adalah kekasih Tuhan sekaligus pewaris Nabi. Maka tidak boleh dipisahkan “Walillahil-izzatu wa lirasulihi wa lil-mu’minin”… “Wa quli’malu fa sayarallahu amalakum wa rasuluhu wal-mu’minun”.
T: Dan jika disatukan maka terjadilah trinitas…..
J: Benar. Jadi kita harus tanam dalam lubuk hati kita Nuqthah Muhayidah agar dapat meraih Shirat Mustaqim. Tuhan tetap tuhan dan tidak akan berubah menjadi nabi atau wali. Nabi tetap nabi, tidak akan pernah berubah menjadi tuhan atau wali. Demikian pula Wali tetap wali, tidak akan pernah berubah menjadi tuhan atau nabi.
T: Artinya; nabi tidak boleh dituhankan dan wali tidak boleh dinabikan dan juga tidak boleh dituhankan?
J: Iya. Bila dicampuradukkan maka kita telah mengikuti jejak nasrani. Jangan pula dipisahkan karena bila dipisahkan maka kita telah mengikuti jejak wahabi yang selalu mengabaikan para utusan dan kekasih Tuhan dengan alasan bahwa kebaikan hanya ada pada Tuhan dan hanya boleh diminta langsung dari Tuhan, seakan-akan yang ada pada nabi dan wali itu bukan pemberian Tuhan untuk kita melalui mereka, seolah-olah Tuhan tidak pernah mengutus prantara, seakan-akan nabi dan wali tidak pernah ada fungsinya.
T: …………………
J: Allah berfirman : “Idz yaqulu li shahibihi la tahzan innallaha ma’ana”; Nabi berkata kepada Wali: Jangan bersedih, Tuhan bersama kita… amat jelas, sekali lagi, tidak boleh ada pemisahan dan tidak pula boleh ada penyatuan / pencampuradukan.
T: Boleh dijelaskan lagi tentang tidak bolehnya ada pemisahan?
J: Maulana Syekh Mukhtar Ra. menggagas sebuah kaidah yaitu: ‘Laisa ainuhu wa laisa ghairuhu’. Artinya: Para nabi dan rasul adalah bukan Allah dan bukan pula selain Allah. Para wali juga demikian, bukan Allah dan bukan nabi, bukan pula selain Allah atau selain nabi.
T: Bukan Allah sudah pasti. Bukan selain-Nya….?!?!?!
J: Bukan selain-Nya berarti: Mereka itu adalah utusan-utusan-Nya, suruhan-suruhan-Nya, kekasih-kekasih-Nya, prantara-prantara menuju-Nya, maka apa yang dibawa oleh mereka merupakan persis apa yang ada pada-Nya. Allah berfirman: “Barang siapa taat kepada Rasul maka ia telah taat kepada Allah” sebab Rasul walau ia bukan Allah (bukan zat Allah / bukan tuhan) namun ia juga bukan selain Allah, toh ia merupakan utusan yang ma’dzun dari Allah. Buktinya: Taat kepada Rasul = (sama dengan) Taat kepada Allah.
T: Ooo… Jadi fungsi diutusnya Rasul maupun Wali adalah untuk menyampaikan hidayah Allah kepada umat manusia yang dengan mentaati mereka maka telah mentaati Allah swt.
J: Al-khairu kulluhu biyadillah, yadla’uhu haitsu yasya’, wa alaina an na’khudzahu wa nathlubahu haitsu wadla’ahu. Segala jenis kebaikan ada di tangan Allah, namun Ia meletakkan kebaikan itu pada siapa saja yang Ia kehendaki. Kewajiban kita hanyalah mengemis kebaikan-Nya itu dimana Ia meletakkannya. Ada pertanyaan lain?
T: Bagaimana dengan ayat “Yadullahi fauqa aidihim”? Apa yang dimaksud dengan tangan Allah dalam ayat itu?
J: Setiap kata benda bila dinisbatkan kepada manusia maka penisbatan tersebut kadang merupakan nisbah juz’iyyah seperti kalimat Anfi (hidungku), Aini (mataku), Rijli (kakiku). Kadang pula penisbatan itu merupakan nisbah milkiyyah seperti Sayyarati (mobilku), Sa’ati (jamku), Kitabi (bukuku). Sedangkan bila sebuah kata benda dinisbatkan kepada Allah maka satu-satunya penisbatan tersebut adalah nisbah milkiyyah (kepemilikan), dan tidak ada kemungkinan sedikitpun bahwa penisbatan tersebut merupakan nisbah juz’iyyah yang berarti Allah tersusun dari pelbagai unsur.
T: Ooo…
J: Naqatullah (unta Allah), Narullah (neraka Allah), Abdullah (hamba Allah), Yadullah (tangan Allah)…. Semua yang dinisbatkan kepada Allah maka bermakna milik-Nya, bukan bagian dari-Nya. Dan oleh karena semua yang ada di dunia ini adalah milik-Nya maka tidak ada salahnya menisbatkan apapun kepada-Nya…. Komputer Allah, botol Allah, kursi Allah, pintu Allah, meja Allah, kaki Allah, hidung Allah, rambut Allah, dll. dengan catatatn: semua penisbatan itu merupakan nisbah milkiyyah semata, dan bukan nisbah juz’iyyah.
T: Iya iya iya…
J: Lalu bagaimana kita menafsirkan ayat “Yadullahi fauqa aidihim”?
T: Tangan milik Allah di atas tanagn-tangan mereka?
J: Iya, dan tangan milik Allah di sini adalah tangannya Rasulullah Saw. (tangan yang merupakan bagian dari jasadnya). Sebab jika seluruh jasad beliau adalah milik Allah maka bagian-bagian beliau pun adalah milik-Nya juga, sebagaimana seseorang mengatakan mobilku (mobil milikku secara keseluruhan) maka ia sangat berhak mengatakan juga: banku, kursiku, kacaku, sebab ia telah memiliki mobil secara keseluruhan maka bagian-bagiannya pun adalah miliknya. Rasul Saw. adalah milik Allah, maka tangan, kaki dan kepala beliau adalah milik Allah juga dan tidak salah dinisbatkan kepada-Nya dengan penisbatan kepemilikan.
T: …………………..Iya iya
J: Perhatikan redaksi ayatnya baik-baik: “Innalladzina yuba’yi’unaka innama yuba’yi’unallaha yadullahi fauqa aidihim”; Sesungguhnya para sahabat yang dibai’at olehmu hai Muhammad adalah sebenarnya mereka dibai’at oleh Allah… setelah itu Rasul meletakkan tangan suci beliau di atas tangan-tangan para sahabat (saat bai’at) lalu Allah melanjutkan: Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka. Tangan Muhammad yang menjadi milik Allah itu di atas tangan-tangan mereka.
T: Masya’allah….
J: Ayat tersebut mengatakan “Fauqa aidihim” (di atas tangan-tangan mereka), bukan Fauqa aidikum (di atas tangan-tangan kalian)… berarti Rasul tidak termasuk mereka sebab tangan beliaulah yang saat itu berada di atas tangan-tangan mereka… Tangan Rasul itulah tangan Allah swt… Tangan bagian Rasul itulah tangan milik Allah swt.
T: Bukankah tangan-tangan mereka adalah milik Allah juga?
J: Hikmah dari ayat itu adalah untuk menguatkan bahwa Rasul dan Allah tidak boleh dipisahkan (Laisa ainuhu wa laisa ghairuhu). Taat kepada Rasul = taat kepada Allah. Bai’at dengan Rasul = bai’at dengan Allah (tidak beda sama sekali, kecuali dalam hal menyembah saja, maka hanya Allah-lah yang wajib disembah). Hikmah ayat itu untuk menambah keyakinan para sahabat bahwa Rasul bukanlah selain Allah (tidak boleh dipisahkan).
T: Iya iya, sekarang saya faham.
J: Ada pertanyaan lain?
T: Qur’an itu qadim atau hadits?
J: Qur’an itu qadim dan hadits. Qadim dari segi kalam Allah. Hadits dari segi qaul Rasulullah.
T: Perbedaan kalam dengan qaul?
J: Ibarat presiden yang mengirim salam kepada hadirin pada sebuah pertemuan. Walaupun ia tidak datang, namun melalui menteri, salam tersebut disampaikan. Ditinjau dari segi kalam, salam tersebut adalah kalam presiden. Sedangkan ditinjau dari segi qaul, salam tersebut adalah qaul sang menteri. Maka al-Qur’an adalah kalam Allah (qadim) sekaligus qaul Rasulullah (hadits) sebab beliaulah yang menyampaikannya kepada umat, maka al-Qur’an adalah qadim dan hadits. Allah berfirman: “Innahu laqaulu Rasulin karim”; Sesungguhnya al-Qur’an adalah qaulnya Rasul yang mulia.
T: Manusia itu musayyar atau mukhayyar?
J: Manusia itu mukhayyar dalam keadaan tahu dan mampu. Musayyar dalam keadaan tidak tahu atau tidak mampu. Orang yang mukhayyar disebut Abdu amr, sedangkan orang yang musayyar disebut Abdu iradah. Orang yang mukhayyar itu mukallaf dan dihisab, sedengkan yang musayyar tidak mukallaf dan tidak dihisab.
T: Allahu Akbar….!!!!
J: Apa maksudmu mengatakan Allahu Akbar?
T: Saya kagum.
J: Maksudku: apa artinya Allahu Akbar?
T: Allah maha besar dari segala sesuatu (Allahu Akbar min kulli syai’).
J: Apakah Allah adalah sesuatu (syai’) sehingga ukuran-Nya dibanding-bandingkan dengan ukuran sesuatu yang lain? apakah Allah berukuran besar dan panjang? Apa layak Allah dibanding-bandingkan dengan makhluk-makhluk-Nya?
T: Lalu apa makna Allahu Akbar?
J: Allah maha besar untuk diketahui (Allahu Akbar min an yu’raf). Allah itu muthlaq dan tidak muqayyad oleh ruang, waktu, ukuran maupun berat. Allah maha suci dari itu semua. Allah tidak bisa diketahui oleh siapapun. Allah maha besar untuk dideteksi atau diukur atau dikenal secara sempurna. Apapun yang terlintas di benak kita tentang-Nya maka Dia maha besar dan maha suci dari itu semua “Subhana Rabbika Rabbil-izzati amma yashifun”.
T: Ooo…
J: Syekh Abu Yazid al-Busthami Ra. pernah ditanya: Apakah Allahu Akbar berarti Allah maha besar dari yang selain-Nya (dari segala sesuatu / dari segala-galanya)? Beliau menjawab: Tidak ada sesuatupun bersama-Nya sehingga Ia menjadi lebih besar darinya. Beliau ditanya kembali: Lalu apa maknanya? Beliau menjawab: Allahu Akbar artinya Allah maha besar untuk dikias dengan manusia atau dijadikan sebagai alat mengkias atau dijangkau oleh panca indra (Akbar min an yuqasa binnas, aw yadkhula tahtal-qiyas aw tudrikahul-hawas).
T: Terima kasih sebelum dan sesudanhya, malam ini saya sudah dapat banyak ilmu.
J: Syai’ lillah Maulana Syekh Mukhtar.
Baca Selanjutnya....

TEOLOGI SUFI IMAM AL-GHAZALI



Kata-kata Imam Al Ghazali
Ibadah dan pengetahuan sambil makan haram adalah seperti konstruksi pada kotoran. (Imam Al Ghazali)
Kata-kata Imam Al Ghazali
Belum pernah saya berurusan dengan sesuatu yang lebih sulit daripada jiwa saya sendiri, yang kadang-kadang membantu saya dan kadang-kadang menentang saya. (Imam Al Ghazali)
Kata-kata Imam Al Ghazali
Barangsiapa yang memilih harta dan anak – anaknya daripada apa yang ada di sisi Allah, niscaya ia rugi dan tertipu dengan kerugian yang amat besar. (Imam Al Ghazali)
Kata-kata Imam Al Ghazali
Barangsiapa yang menghabiskan waktu berjam – jam lamanya untuk mengumpulkan harta kerana ditakutkan miskin, maka dialah sebenarnya orang yang miskin. (Imam Al Ghazali)
Kata-kata Imam Al Ghazali
Barangsiapa yang meyombongkan diri kepada salah seorang daripada hamba – hamba Allah, sesungguhnya ia telah bertengkar dengan Allah pada haknya. (Imam Al Ghazali)
Kata-kata Imam Al Ghazali
Berani adalah sifat mulia kerana berada di antara pengecut dan membuta tuli. (Imam Al Ghazali)
Kata-kata Imam Al Ghazali
Pemurah itu juga suatu kemuliaan kerana berada di antara bakhil dan boros. (Imam Al Ghazali)
Kata-kata Imam Al Ghazali
Bersungguh – sungguhlah engkau dalam menuntut ilmu, jauhilah kemalasan dan kebosanan kerana jika tidak demikian engkau akan berada dalam bahaya kesesatan. (Imam Al Ghazali)
Kata-kata Imam Al Ghazali
Cinta merupakan sumber kebahagiaan dan cinta terhadap Allah harus dipelihara dan dipupuk, suburkan dengan shalat serta ibadah yang lainnya. (Imam Al Ghazali)
Kata-kata Imam Al Ghazali
Ciri yang membedakan manusia dan hewan adalah ilmu. Manusia adalah manusia mulia yang mana ia menjadi mulia kerana ilmu, tanpa ilmu mustahil ada kekuatan. (Imam Al Ghazali)
Kata-kata Imam Al Ghazali
Hadapi kawan atau musuhmu itu dengan wajah yang menunjukkan kegembiraan, kerelaan penuh kesopanan dan ketenangan. Jangan menampakkan sikap angkuh dan sombong. (Imam Al Ghazali)
Kata-kata Imam Al Ghazali
Ilmu itu kehidupan hati daripada kebutaan, sinar penglihatan daripada kezaliman dan tenaga badan daripada kelemahan. (Imam Al Ghazali)
Kata-kata Imam Al Ghazali
Yang paling besar di bumi ini bukan gunung dan lautan, melainkan hawa nafsu yang jika gagal dikendalikan maka kita akan menjadi penghuni neraka. (Imam Al Ghazali)
Kata-kata Imam Al Ghazali
Kita tidak akan sanggup mengekang amarah dan hawa nafsu secara keseluruhan hingga tidak meninggalkan bekas apapun dalam diri kita. Namun jika mencoba untuk mengendalikan keduanya dengan cara latihan dan kesungguhan yang kuat, tentu kita akan bisa. (Imam Al Ghazali)
Kata-kata Imam Al Ghazali
Sifat utama pemimpin ialah beradab dan mulia hati. (Imam Al Ghazali)
Kata-kata Imam Al Ghazali
Kebahagiaan terletak pada kemenangan memerangi hawa nafsu dan menahan kehendak yang berlebih-lebihan. (Imam Al Ghazali)
Kata-kata Imam Al Ghazali
Kalau besar yang dituntut dan mulia yang dicari,maka payah melaluinya, panjang jalannya dan banyak rintangannya. (Imam Al Ghazali)
Kata-kata Imam Al Ghazali
Jadikan kematian itu hanya pada badan kerana tempat tinggalmu ialah liang kubur dan penghuni kubur sentiasa menanti kedatanganmu setiap masa. (Imam Al Ghazali)
Kata-kata Imam Al Ghazali
Pelajari ilmu syariat untuk menunaikan segala perintah Allah SWT dan juga ilmu akhirat yang dapat menjamin keselamatanmu di akhirat nanti. (Imam Al Ghazali)
Kata-kata Imam Al Ghazali
Menuntut ilmu adalah taqwa. Menyampaikan ilmu adalah ibadah. Mengulang-ulang ilmu adalah zikir. Mencari ilmu adalah jihad. (Imam Al Ghazali)
Kata-kata Imam Al Ghazali
Kecintaan kepada Allah melingkupi hati, kecintaan ini membimbing hati dan bahkan merambah ke segala hal. (Imam Al Ghazali)
Baca Selanjutnya....

Senin, 14 Mei 2012

JALAN HIDUP KAUM SUFISME


 ▪ Pengertian :
Riyadhoh adalah Latihan Penyempurnaan diri secara terus menerus yang datangnya dari Allah SWT ditujukan kepada Hamba-Nya. Semuas kondisi puncak, puncak kebahagiaan, puncak penderitaan, puncak kegembiraan, puncak kesedihan merupakan wujud dari Riyadhoh. Datangnya secara tiba-tiba, tidak pasti dan tidak disangka. Manusia hanya mempersiapkan diri dengan berbagai latihan-latihan jiwa, semua dating dan pergi tanpa sempat bertanya kenapa ini terjadi. Kunci sukses dari Riyadhoh adalah Kepasrahan diri, menerima dengan ikhas dan lapang dada semua yang diberikan sang Khaliq.
Takholli (Takhalli minal akhlaaqil madzmuumah, lepaskan dirimu dari perangai tercela.) Menghapus perbuatan tercela. Dalam mencapai Asmaul Husna, harus ada sifat menghayati, bertobat dengan cara istiqomah dan ikhlas.
Tahalli (Tahalli nafsaka bil akhlaaqil mahmuudah, isilah jiwamu dengan akhlaq yang terpuji) : Mengisi dengan perbuatan terpuji. Biasanya yang dilakukan para sufi dalam Bertahalli adalah Berdzikir.
Tajalli (Jelaslah Tuhanmu di hadapanmu, maksudnya,Allah jelas dalam zihn dan kehidupan jiwa, hijaab tersingkap menjelma kasysyaaf. Demikianlah Takhalli permulaan atau bidaayah dengan melalui Tahalli, kemudian kesudahan atau nihaayah adalah Tajalli.) : Siap-siap. Yang dimaksud Tajalli disini adalah Aplikasinya
Segala akhlaqul madzmumah yang merupakan ma’shiatul baathin dikikis habis, lalu diisi dengan akhlaqul mahmudah yang merupakan ‘ibaadatulqalb atatu thaa’atul baathin.
Seperti diketahui bahwa maksud agama ialah agar manusia meninggalkan larangan, yaitu menjauhkan diri dari maksiat dan mengerjakan semua perintah Allah yaitu beramal kebajikan. Lebih didahulukan meninggalkan larangan daripada mengerjakan suruhan, Karena memang diakui bahwa meninggalkan semua larangan adalah lebih sukar daripada mengerjakan suruhan, walaupun sebenarnya pada diri manusia itu lebih banyak kecondongan pada kebaikan daripada kepada kejahatan. Hanya saja itu memang sukar, karena pengaruh yang telah diterima manusia dari alam sekitarnya.
Baca Selanjutnya....

Jumat, 11 Mei 2012

RABI'AH AL-ADAWIYAH (SUFI WANITA)




A.     Riwayat Hidup Rabi’ah al-Adawiyah
  1. Masa Kelahiran Rabi’ah al-Adawiyah
Rabi’ah al-Adawiyah memiliki nama lengkap Ummu al-Khair bin Isma’il al-Adawiyah al-Qisysyiyah. Lahir di Basrah Iraqdiperkirakan pada tahun 95 H. Rabi’ah termasuk dalam suku Atiq yang silsilahnya kembali pada nabi Nuh[1]. Ia diberi nama Rabi’ah yang berarti putri keempat karena orang tuanya telah memiliki tiga orang putri sebelumnya[2].
Pada malam kelahirannya, sang ayah merasa sangat sedih karena tidak mempunyai suatu apapun untuk menghormati kehadiran putrinya yang baru itu. Bahkan minyak untuk menyalakan lampu pun tidak ada. Malam itu sang ayah bermimpi kedatangan Nabi Muhammad SAW dan mengatakan kepadanya agar jangan bersedih karena putrinya kelak akan menjadi seorang yang agung dan mulia[3].
  1. Masa Kecil Rabi’ah al-Adawiyah
Rabi’ah tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga biasa dengan kehidupan orang saleh yang penuh zuhud. Seperti anak-anak sebayanya Rabi’ah tumbuh dan dewasa secara wajar. Yang menonjol darinya ialah ia kelihatan cerdik dan lincah daripada kawan-kawannya. Tampak juga dalam dirinya pancaraan sinar ketakwaan dan ketaatan yang tiada dimiliki oleh teman-temannya. Ia juga juga memiliki keistimewaan lain yaitu kekuatan daya ingatnya yang telah dibuktikan dengan kemampuannyamenghafal al-Quran saat usianya 10 tahun.
Pendidikan yang didapatkan Rabi’ah adalah pendidikan informal yang diberikan oleh ayahnya secara langsung. Biasanya ia dibawa ke sebuah mushalla yang jauh dari hiruk pikuk keramaian di pinggiran kotaBasrah. Di sinilah ayah Rabi’ah sering melakukan ibadah dan munajat, berdialog dengan Sang Khalik. Di tempat yang tenang dan tenteram tersebut akan mudah mencapai kekhusyukan dalam beribadah dan bisa mengkonsentrasikan pemikiran pada keagungan dan kekuasaan Allah. Kondisi kehidupan keluarga Rabi’ah yang saleh dan zuhud besar pengaruhnya bagi pendidikan putri kecil tersebut[4].
  1. Masa Remaja Rabi’ah al-Adawiyah
Masa remaja Rabi’ah dilalui tanpa kedua orang tuanya, karena mereka telah meninggal dunia pada saat ia beranjak dewasa. Hal itu menyebabkan kehidupan Rabi’ah dan kakak-kakaknya semakin parah kondisinya sehingga memaksa mereka untuk meninggalkan gubuknya. Rabi’ah dan semua saudaranya terpencar satu sama lain. Mereka berkelana ke berbagai daerah untuk mencari penghidupan. Dalam pengembaraan ini, Rabi’ah jatuh ke tangan perampok dan dijual sebagai hamba sahaya dengan harga yang murah, yaitu sebesar 6 dirham.
Kehidupan dalam belenggu perbudakan telah mengisi lembar hidup Rabi’ah. Tuannya memperlakukannya dengan sangat bengis dan tanpa perikemanusiaan. Tetapi Rabi’ah menjalaninya dengan sabar dan tabah. Shalat malam tetap dilakukannya dengan rutin, lisannya tidak pernah berhenti berdzikir, istighfar merupakan senandung yang selalu didendangkannya.
Dan pada suatu malam, tuannya mendengar rintihannya dan doanya. Hal ini sangat menyentuh hatinya hingga akhirnya ia pun memerdekakannya. Setelah merdeka, kehidupan Rabi’ah tetap lurus dalam jalan dan petunjuk AllahSWT. Dengan kebebasan yang diperolehnya, ia curahkan hidupnya di masjid-masjid dan tempat-tempat pengajian agama. Ia kemudian menjalani kehidupan sufi dengan beribadah dan merenungi hakikat hidup. Tidak ada sesuatupun yang memalingkan hidupnya dari mengingat Allah[5].
  1. Masa Dewasa Rabi’ah al-Adawiyah
Dalam perjalanan selanjutnya, kehidupan sufi telah menjadi pilihannya. Rabi’ah menepati janjinya pada Allah untuk selalu beribadah kepadaNya sampai menemui ajalnya. Ia selalu malakukan shalat tahajjud sepanjang malam hingga fajar tiba. Rabi’ah tidak tergoda kehidupan duniawi, hatinya hanya tertuju pada Allah, ia tenggelam dalam kecintannya pada Allah SWT dan beramal demi keridlaanNya.
Rabi’ah telah menempuh jalan kehidupannya sendiri dengan memilih hidup zuhud dan hanya beribadah kepada Allah. Selama hidupnya ia tidak pernah menikah, walaupun ia seorang yang cantik dan menarik. Rabi’ah selalu menolak lamaran lelaki yang meminangnya. Pangkat, derajat, dan kekayaan tidak mampu memalingkan cinta pada kekasihnya Allah SWT[6].
  1. Akhir Hayat Rabi’ah al-Adawiyah
Rabi’ah mencapai usia kurang lebih 90 tahun, bukan semata-mata usia yang panjang, tapi merupakan waktu yang penuh berkah hidup yang menyebar di sekelilingnya, suatu kehidupan yang menyebarkan bau wangi yang semerbak ke daerah sekitarnya, bahkan sampai sekarang hikmah dari ajaran-ajarannya masih dapat dirasakan.
Terdapat silang pendapat di kalangan ahli sejarah tentang wafatnya Rabi’ah, baik mengenai tahun maupun tempat penguburannya. Mayoritas ahli sejarahnya meyakini tahun 185 H sebagai tahun wafatnya, sedangkan tempat penguburannya, mayoritas ahli sejarah mengatakan bahwa kotakelahirannya sebagai tempat menguburkannya[7].
  1. B.     Pemahaman Tasawuf yang Digunakan Rabi’ah al-Adawiyah
Pada masa itu, yang berkuasa di Basrah adalah Bani Umayyah. Hidup mewah mulai meracuni masyarakat terutama di kalangan istana. Melihat kondisi demikian, kaum muslimin yang saleh merasa berkewajiban untuk menyerukan pada masyarakat untuk hidup zuhud, sederhana, saleh dan tidak tenggelam dalam kemewahan. Sejak saat itu, kehidupan zuhud mulai menyebar luas di kalangan masyarakat.
Menurut at-Taftazani, karakteristik asketisme (zuhud) islam pada abad pertama dan kedua hijriah adalah sebagai berikut:
  1. Asketisisme ini didasarkan ide menjauhi hal-hal dunia demi meraih pahala akhirat dan memelihara diri dari azab neraka.
  2. Asketisisme ini bercorak praktis dan para pendirinya tidak menaruh pendirian untuk menyusun prinsip-prinsip teoritis atas asketisismenya itu.
  3. Motivasi asketisisme ini adalah rasa takut yang muncul dari landasan amal keagamaan yang sungguh-sungguh.
Demikianlah perkembangan tasawuf pada masa Rabi’ah al-Adawiyah yang sedikit banyak mempengaruhi kehidupan sufi Rabi’ah al-Adawiyah[8].
Rabi’ah al-Adawiyah semula adalah seorang hamba yang kemudian dibebaskan oleh tuannya. Dalam kehidupan selanjutnya ia bisa memusatkan perhatiannya dalam beribadah, bertaubat, dan menjauhi kehidupan duniawi. Dia menyenangi hidup dalam kemiskinan, dan menolak bantuan materi yang diberikan orang kepadanya. Bahkan dalam doanya, dia tidak mau meminta hal-hal yang bersifat materi kepada Tuhan. Rabi’ah al-Adawiyah betul-betul hidup dalam keadaan zuhud dan mendambakan berada sedekat mungkin dengan Tuhan.
Rabi’ah dikenal sebagai sufi yang mengembangkan paham tentang mahabbah (cinta). Baginya Tuhan adalah zat yang dicintai dan rasa cintanya yang mendalam hanya kepada Tuhan[9]. Karena itu, dia mengabdi dan melakukan amal saleh bukan karena takut masuk neraka atau mengharap masuk surga, tetapi karena cintanya pada Allah. Cintalah yang mendorongnya ingin selalu dekat dengan Allah dan cinta itu pulalah yang membuat dia bersedih dan menangis karena takut terpisah dari yang dicintainya. Pendek kata, Allah baginya merupakan zat yang sangat dicintainya, bukan sesuatu yang harus ditakuti.
Menurut beberapa orientalis yang mengkaji tasawuf, misalnya R.A. Nicholson bahwa pentingnya kedudukan Rabi’ah al-Adawiyah di dalam konsep tasawuf adalah dikarenakan dia menandai konsep zuhud dengan corak lain dari konsep zuhud Hasan al-Basri yang ditandai dengan corak rasa takut dan harapan. Rabi’ah al-Adawiyah melengkapinya dengan corak baru, yaitu cinta yang menjadi sarana manusia dalam merenungkan keindahan Allah yang abadi. Cinta yang suci murni itu lebih tinggi daripada takut dan pengharapan. Cinta yang suci murni, tidaklah mengharapkan apa-apa dan cinta murni kepada Tuhan itulah puncak Tasawuf Rabi’ah[10]. Di antara ucapan-ucapannya yang melukiskan tentang konsep zuhud yang dimotivasi cinta adalah:
“Wahai Tuhan! Apapun bagiku dunia yang Engkau karuniakan kepadaku. Berikanlah semuanya kepada musuh-musuhMu. Dan apapun yang Engkau akan berikan kepadaku kelak di akhirat, berikan saja pada teman-temanMu. Bagiku, Engkau pribadi sudah cukup.”
Tampak jelas bahwa cinta Rabi’ah al-Adawiyah kepada Allah begitu penuh meliputi dirinya, sehingga sering membuatnya tidak sadarkan diri karena hadir bersama Allah, seperti terungkap dalam lirik syairnya:
“Kujadikan Engkau teman dalam berbincang dalam kalbu.
Tubuhkupun biar berbincang dengan temanku.
Dengan temanku tubuhku berbincang selalu.
Dalam kalbu terpancang selalu Kekasih cintaku.”
Cinta dibaginya atas dua tingkat. Pertama cinta karena kerinduan. Dirindui sebab Dia memang puncak segala keindahan, sehingga tidak ada lagi yang lain yang jadi buah kenangannya dan buah tuturnya, melainkan Tuhan, Allah, Rabbi!. Yang kedua yaitu keinginan dibukakan baginya hijab, selubung, yang membatas di antara dirinya dengan Dia. Itulah tujuannya, yaitu melihat Dia (musyahadah)[11]. Karena seluruh lorong hatinya telah dipenuhi cinta Ilahi, maka tidak ada lagi tempat yang kosong buat mencintai, bahkan juga buat membenci orang lain[12].
Sebuah contoh menceritakan tentang cahaya dengan kerinduan hati yang terbakar semata-mata ditempati oleh ketakutan kehilangan Allah, tampak dalam dialog sebagai berikut. Ia ditanya:
“Apakah Anda cinta setan, wahai Rabi’ah, ataukah membencinya?”
Dijawab Rabi’ah, “Cintaku yang begitu besar kepada Allah, sepenuhnya melarangku untuk membenci setan”
Parapenanya masih memaksanya, dan terus mengajukan pertanyaan:
“Apakah Anda cinta Nabi dan kedamaian atas beliau?”
Dan Rabi’ah menjawab, “Demi Allah, aku sangat mencintainya. Tetapi cintaku kepada Sang Pencipta telah terisi penuh dan mencegahku dari cinta terhadap makhluk.”
Kata-kata ini tidak pernah dimaksudkan sebagai ketidakimanan terhadap Nabi. Jawaban itu dimaksudkan bahwa tidak ada ruang yang tersisa dalam hatinya untuk mencintai sesuatu dengan tulus kecuali Allah. Dalam bukunya The Rainks Of The Saints, al-Manawi berkata:
“Dalam doa-doanya, Rabi’ah menyerahkan dirinya seribu kali siang dan malam dan ketika ditanya, “Apakah yang Anda cari dengan semua ini?” Ia menjawab, ‘Aku tidak mencari pengajaran. Aku mengerjakan semuanya barangkali Allah dan Nabi berkenan, dan menyampaikan kabar kepada Nabi-nabi lainnya, ‘Lihat, ada seorang perempuan dari ummatku dan inilah karyanya’.”
Oleh karena itu, Rabi’ah ingin mencintai Nabi, damai bersamanya, ia berharap semua perempuan merasa dimuliakan dengan apa yang dilakukannya. Ia mencintai Nabi dan berharap berjumpa dengan beliau pada Hari Pembalasan[13].
Riwayat lain menyebutkan bahwa ia selalu menolak lamaran pria-pria salih, dengan mengatakan: “Akad nikah adalah bagi pemilik kemaujudan luar biasa. Sedangkan pada diriku hal itu tidak ada, karena aku telah berhenti maujud dan telah lepas dari diri. Aku maujud dalam Tuhan dan diriku sepenuhnya milikNya. Aku hidup dalam naungan firmanNya. Akad nikah mesti diminta darinya, bukan dariku[14]
  1. C.     Ekspresi Beragama Dalam Kehidupan Sufi Rabi’ah al-Adawiyah
Ekspresi beragama ini dibagi menjadi 3:
  1. Ekspresi Verbal, yaitu pernyataan keadaan jiwa melalui kata-kata.
  2. Ekspresi Grafis, yaitu melalui tulisan, lukisan, maupun coretan.
  3. Ekspresi Motoris, yaitu pernyataan melalui tindakan, perbuatan, tingkah laku, gerakan, dan sebagainya[15].
Dari ketiga macam ekspresi yang disebutkan di atas, agaknya hanya ekspresi verbal dan motoris saja yang dilakukan oleh Rabi’ah al-Adawiyah. Mengingat tidak ditemukannya tulisan, lukisan, maupun coretan Rabi’ah yang dapat dianggap sebagai ekspresi keagamaan Rabi’ah. Bahkan ide tasawuf yang dikembangkannya, mahabbah, yang dikenal hingga sekarang baru ditulis beberapa muridnya beberapa saat setelah ia wafat.meski demikian, dua macam ekspresi tadi telah cukup melukiskan ekspresi keagamannya[16].
  1. Ekspresi Verbal yang dilakukan Rabi’ah al-Adawiyah
Sebagaimana disebut di atas, ekspresi verbal yang dilakukan Rabi’ah antara lain berupa perkataan yang berwujud doa-doa, syair-syair, nasehat, maupun jawaban dari pertanyaan.
Mengapa Rabi’ah menciptakan begitu banyak doa yang berupa syair-syair? Hal ini boleh jadi karena perasaan cinta dan rasa rindu pada “Kekasihnya”. Secara alamiah orang yang perasaannya dipenuhi oleh perasaan cinta dan rindu maka akan menciptakan puisi-puisi sebagai ungkapan perasaannya tersebut pada kekasihnya. Begitu juga yang terjadi pada Rabi’ah[17].
  1. Ekspresi Motoris yang dilakukan Rabi’ah al-Adawiyah
Ekspresi keberagamaan Rabi’ah dalam bentuk motoris teraktualisasi dalam bentuk-bentuk ibadah antara lain seperti shalat, puasa, haji, serta aktivitas-aktivitas lainnya.
Rabi’ah selalu melakukan shalat malam hingga fajar menjelang, dan ketika ia sakit, ia ridak bisa melakukan shalat malam dan akhirnya menggantinya dengan membaca Al-Quran di siang hari. Sementara tetesan air mata selalu mengiringi doa-doa yang dilantunkannya. Ia menangis bukan karena kemiskinannya atau karena ia tidak dihormati, melainkan ia menangis karena rindu akan “Kekasihnya” Allah SWT.
Ekspresi lain yang dilakukannya yaitu, menggali kuburnya sendiri di rumah. Dan diceritakan, ia biasa berdiri di samping lubang kubur tersebut, pagi dan sore hari sambil berkata “besok engkau pasti berada di sini” kemudian ia banyak melakukan ibadah. Selama 40 tahun ia memelihara kebiasannya ini hingga wafatnya.
Perilaku demikian menunjukkan bahwa Rabi’ah ingin segera bertemu dengan ‘kekasihnya’, dan itu akan dijumpainya pada saat rohnya terlepas dari jasadnya. Di samping itu, perilaku demikian juga menyadarkan dirinya bahwa kehidupan di dunia harus diisi dengan aktivitas sebagai bekal kehidupan di akhirat kelak[18].
BAB III
PENUTUP
  1. A.     Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa Rabi’ah al-Adawiyah, pada abad ke II Hijrah telah merintis konsep zuhud dalam tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah. Tetapi ia tidak hanya berbicara tentang cinta Ilahi, namun juga menguraikan ajaran tasawuf yang lain, seperti konsep zuhud, rasa sedih, rasa takut, rendah hati, tobat, dan sebagainya.
Dan kehidupannya adalah tafsir dari ayat Al-Quran yang jelas-jelas melukiskan hubungan cinta antara Tuhan dengan hambaNya:
“Wahai orang-orang yang percaya, barang siapa yang murtad diantara kamu dari agamanya, maka kelak akan didatangkan Tuhan Tuhan suatu kaum atas gantinya, yang Tuhan cinta kepada mereka dan mereka cinta kepada Tuhan, yang merendahkan diri kepada sesama mu’min dan bersikap keras terhadap orang kafir, yang berjuang di jalan Allahdan tidak merasa takut atas cercanya orang-orang yang durjana. Itulah anugerah Allah yang dilimpahkan karuniaNya kepada siapa yang dikehendakiNya. Dan Allah Maha Mengetahui”  
Demikianlah, jejak langkah Rabi’ah yang barangkali perlu kita tapak tilasi. Terlebih lagi di era yang semakin mementingkan materi dan dipenuhi dengan kebohongan-kebohongan ini. Semoga saja kehidupan yang digelimangi cinta sebagaimana dicontohkan Rabi’ah itu bisa kita renungkan, teladani, dan jabarkan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Baca Selanjutnya....